Sponsor

Selasa, 09 Juni 2020

Pacar Lima Langkah

Hujan sudah berhenti sejak menjelang magrib. Tapi, hawanya masih khas ketika aku membuang sampah ke depan pagar rumah aku. Kulihat ke rumah  yang berseberangan dua rumah dengan ku, masih penuh dengan orang-orang duduk di depan teras, dan di halaman rumah. Selepas maghrib tadi, disana ada kegiatan meniga hari  dimana hal tersebut merupakan tahlilan/selamatan pada hari ke-3 sesudah seseorang meninggal.

Ya, sebut saja Kai Umar, tetangga di blok komplek ku, meninggal pada hari kamis tadi, setelah shalat Ashar. Semoga Amal ibadah beliau diterima oleh Allah SWT.
Di musim pandemi seperti ini, jarang-jarang orang mau bertandang melayat. Karena pemikiran orang-orang sudah dibutakan oleh 'orang meninggal pasti kena corona'. Apalagi orang yang sudah lanjut usia. Kai Umar kurang lebih seumur dengan almarhum Kai aku. Beliau rajin sekali ikut shalat berjama'ah ke langgar di komplek ku. Sehingga cukup dikenal di komplek. Beliau juga termasuk penghuni komplek terlama. Seingatku waktu aku pindah ke Banjarbaru tepatnya di komplek ku ini, beliau sudah duluan ada. Rumah di kiri dan kanan ku masih bentukan rumah standar. Hingga beberapa bulan terakhir, beliau selalu rajin berjamaah di langgar. Memang beberapa minggu terakhir beliau tidak terlihat. Rupanya sakit, hingga pada akhirnya meninggal dunia. Yang tenang di sana ya, Kai. Memang terasa ikut berbeda saat Kai tidak ada. Tidak ada lagi yang sering lewat depan rumah setelah adzan di langgar berkumandang. *cry

Yang ingin ku ceritakan bukan Kai sih, tapi salah satu cucu Kai.
Saat itu, dia juga ikut duduk di teras sambil ngobrol dengan tamu dan keluarga yang lain.
Aku, yang saat itu ingin pergi ke warung, tanpa sengaja mencuri pandang.
Dan dia memandang balik.
Bangke.
Kenapa harus tatap-tatapan saat ini sih
Aku melaju ke warung dengan motorku.




Enam Belas Tahun Yang Lalu...

Aku masih sibuk merapikan mukena saat dua sahabatku menarik tangan, mengajak buru-buru ikut kerumunan di depan imam shalat tarawih. Seperti biasa, setelah shalat tarawih usai, dan sebelum tadarus dimulai, kami harus mengantri untuk meminta tanda tangan imam. Aku ikut bergabung dalam kerumunan. Setelah dapat tanda tangan imam, kami lalu keluar langgar bersama-sama. Aku dan dua sahabatku Iva dan Henny (nama disamarkan demi kemaslahatan bersama, huehe), dan sebenarnya juga dengan satu keponakan dan satu adik Iva, berjalan menuju arah pulang, melewati pos kamling yang terletak di samping langgar. Di sana tampak beberapa anak lelaki sedang berkumpul-kumpul, termasuk dia. Sebut saja namanya Anwar (nama juga disamarkan demi kemaslahatan saya sendiri). Tiba-tiba ada celetukan dari Fikri, salah satu lelaki di kumpulan tersebut dan kebetulan satu SMP dengan aku dan dua sahabatku.

"Ki (Kiky, nama panggilanku di komplek), ada yang salam nih!"

Berhubung yang punya nama panggilan "Ki" pasti aku, dan yang barusan lewat depan mereka adalah kami. Maka aku menoleh sebentar, lalu tetap berjalan lurus. Iva dan Henny dah mulai senggol senggol ga karuan, diselipi kata ciyeee...

"Kok ga dihiraukan sih, Anwar nih, salam!"
"Wa'alaikumsalam" Jawabku masih sambil mencuri pandang ke kerumunan lelaki itu dan kutemukan dia dan wajahnya  bersemu merah, persis wajahku saat itu. Ga tau juga kenapa ga ada hujan ga ada RDL tiba-tiba muka merah aja.
Malamnya aku ga bisa tidur.

Besoknya, tarawih masih berlanjut.
Kami datang lebih awal, dan ternyata datang lebih awal membuat kami, terutama aku, bertemu dengan para kerumunan lelaki komplek yang sedang santai di pos kamling. Aku dipanggil oleh si bangke Fikri dan ditanya-tanyain. Pos kamling jadi rame, kulihat Iva dan Henny menunggu dengan cemas di teras langgar. Aku malu sumpah, tapi apa daya si Fikri sok-sok nanyain tentang PR padahal di sekolah kita beda kelas. Jauh banget. Alhasil, aku sok-sok an kesal dengan si Fikri dan lelaki-lelaki lain yang terus-terusan menjodohkan aku dengan Anwar, sedangkan Anwarnya cuma mesem-mesem.

"Gimana Ki, mau ngga?"
Aku masih di beber pertanyaan menyebalkan oleh si Fikri. Kujawab, "Ah, orangnya aja diam aja..."
Dan langsung mendapat sorakan satu pos kamling yang isinya lelaki-lelaki komplek ku. Kulihat si Anwar mukanya mesem-mesem.
Dari sinilah cerita dimulai. setelah ngomong gitu ke kumpulan jantan pos kamling. Aku pulang. Sebelum tidur, aku buang sampah. Tiba-tiba aku dikagetkan sebuah suara. Ternyata itu si Anwar. Gila, berhadapan sama dia sedekat ini, aku ga sanggup. Kuharap ini mimpi. Tapi suara dan aroma parfum nya menyadarkanku.

"Ki, yang dibilang Fikri kemaren-kemaren, maaf ya kalo ganggu Kiky" aku langsung gugup berasa mau pipis di tempat. Sebenarnya sejak dicomblangin seenak jidat sama si Fikri dan lelaki-lelaki komplek, aku jadi sering curi pandang ke Anwar. Ga hanya di langgar komplek, dalam kehidupan bermasyarakat (?) pun aku mencoba curi pandang. Itu karena rumah kami berseberangan, hanya terpisah satu buah rumah. Kalau nyokap lagi marah, suara nyokap bisa kedengaran sampai rumahnya. Jadi, sejak saat itu aku berusaha keras menghindari kemarahan nyokap. Karena aku malu sama Anwar. Entah sejak kapan aku malu.

"Hah, Oh, Eh, Hehe iya" Aku jadi semacam orang gagu yang lupa caranya ngomong. Di hadapanku sekarang berdiri seseorang yang memenuhi fikiranku beberapa hari ini. Kampret emang si Fikri.

"Maaf ya, aku...suka Kiky"
"Hehehe" Entah kenapa responku saat itu hehehe gajelas.
"Besok tarawih kan?"
"Iya, Tawarih... Tarawih maksudnya" omongansudah mulai kacau.
"Yaudah kalau gitu aku pulang dulu, daah.." Dia melambaikan tangan. Sungguh momen yang indah sekali, menyatakan suka saat target sedang membuang sampah dan baju tidur dan rambut kuncir satu dan kacamata berembun. Senatural itu cinta-cinta an ala SMP-ku. Aku memandangnya sampai ia masuk  ke dalam rumahnya. Saling melempar senyum. lalu masuk ke dalam rumah masing-masing. Hidungku kembang kempis.
Nyokap tidak boleh tau ini.

Besoknya, aku tarawih seperti biasa. Dan seperti biasa, si Fikri memulai candaan. Aku hanya diam. Masih belum bisa percaya apa yang terjadi malam tadi.
Anwar adalah lelaki putih (mungkin keturunan Dayak) yang kalau kena matahari, kulitnya masih putih bersih mulus. Muka-nya pun manis. Dia pasti jadi incaran cewe-cewe di sekolahnya. Sedangkan aku, cewek buluk berkacamata minus ini. Pasti jadi bully-an kalau orang-orang tau aku pacaran sama si Anwar.
Eh emang pacaran?

"Ciye, Kiky!!!" Dua kata yang mampu mengundang ciye dari yang lain.
Aku hanya berlalu. Ingin segera aku sampai di rumah. Tapi, Si Anwar tiba-tiba barengi aku sambil jalan kaki. Mengundang sorak soray orang-orang di pos kamling.Bahkan yang masih pada di langgar langsung mengarahkan pandangan ke kami. Aku berjalan beriringan dengan Anwar. Sementara Iva sama Henny melaju di depan.

"Aku temani ya pulangnya" Kata si Anwar. Dan aku hanya bisa mengangguk.
Malam itu aku tidur kesenangan, sambil bertanya-tanya. Apakah benar dia suka aku? Apakah ini artinya kami jadian? Berapakah umur Donal Bebek?

Ternyata kata si Fikri, kami jadian.
Fikri setiap berpapasan dengan aku di sekolah selalu menyapa dengan kata-kata "Oi, Pacar Anwar" aku senyum-senyum sendiri.
gila, muka belum puber macam artis ftv pemeran pendukung kelebihan bedak kayak aku, punya pacar kayak oppa-oppa korea. Ini kebetulan atau teguran Tuhan sih?

Selain Fikri, sepupu Anwar dan kakak kandung anwar yang tinggal disitu pun menyapa-nyapa aku. Dan ternyata satu keluarga Anwar di rumah itu tau kalau si Anwar cemceman sama aku. aku jadi semakin hati-hati, menjaga supaya nyokap ga marah-marah pake toa. Karena aku bisa malu di hadapan keluarga Anwar.

Anwar orangnya pemalu. Berbeda dengan kakaknya dan sepupunya, ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Dan jarang terdengar suaranya. Jarang berteman dengan lelaki komplek lainnya, kecuali saat-saat tarawih seperti Ramadhan kali ini.

Suatu malam, entah tarawih ke berapa, dia sudah menunggu di depan pagar, seperti biasa menemani menjemput Iva dan Henny lalu kemudian bersama-sama ke langgar di komplekku. Kali ini, sebelum kami melangkah ke rumah Iva dan Henny, dia tiba-tiba bicara. "Jalan Yuk"
aku menolehnya. "Ini kan kita udah jalan"
"Bukan jalan kaki, jalan. naik motor, kemana gitu"
Ini jadi hal wow dan pertama buat aku. Dan aku bingung harus gimana. Tangki pipis mulai terisi saat kubilang "Oke" dengan mantap padahal rasanya pengen pipis di celana.

"Aku balik dulu, kamu jemput aja Iva sama Henny" Dia bergegas balik arah menuju rumahnya. Aku bengong di pinggir jalan. Aku nggak tau maksudnya apa. Tapi aku tetap berjalan dengan tenang menjemput Iva dan Henny. Begitu berjalan menuju langgar, ada motor di belakang mengiringi kami. Ternyata Anwar.

yamaha jupiter biru 2002 Tangan-1 - Motor
Gambar hanya ilustrasi. Cukup kalian tau saja motornya.
Aku inget banget. Kaos yang ia kenakan malam itu. Kaos putih mix warna biru langit. Ya, dia emang cocok memakai warna cerah karena kulitnya putih. Celana pendek selutut. Sudah kuduga, sarung tadi ia tinggal di rumah. Benar-benar ini anak. Sedangkan aku, aku lupa saat itu memakai baju apa. Yang pasti, jaman SMP adalah jaman-jalannya aku memakai baju kaos lengan pendek dan celana 7/8. Kacamataku kacamata jadul. Rambut nyetak bekas dikuncir. Tidak, aku tidak ingin membayangkan sehancur apa saat itu.

"Yuk jalan" Anwar masih berusaha mengiringi.
"Tapi..."
"Udah, jalan aja, ntar mukena kami yang bawain ke langgar" Iva dan Henny terlihat mendukung. Aku pelan-pelan naik ke motor Anwar. Jaraknya satu kepal tangan antara duduk aku dan Anwar. Aku masih ragu, ini kali pertama aku naik motor dengan seorang cowok dengan status cemceman cinta monyet alala bumbum.

Kami melaju dengan cepat melewati Lapangan Murjani.
Menuju Jalan Panglima Batur Barat.
"Kita kemana?" tanya Anwar yang suara nya samar terbawa angin.
"Gatau" Aku menjawab sambil tetap berpegangan pada pegangan di belakang. Mau meluk takut dosa. *egilee mau maen peluk aja*
Kami melaju melewati bundaran STM dan balik arah pulang.
Dan kami, tidak pakai helm satu sama lain.

Selesai "jalan" yang ternyata muterin jalan panglima batur doang, rambut acakadul. Anwar nggak nganter ke rumah tapi malah ke langgar komplek. Alhasil semua anak cowo yang lagi duduk di pos kamling ngeliat kami dan nyorakin Aku dan Anwar. Sumpah malu abis. Mana pas lagi jeda tarawih. Mata para jamaah di langgar, terutama yang sholat di teras, tertuju pada kedatangan aku dan Anwar yang naik motor tanpa helm.

Aku lupa, masa lalu ku pernah sealay itu.

Kejadian pertama dengan Anwar saat itu 8 September 2004 tercatat dengan jelas di buku diary ku.
Semuanya berjalan aman damai. Modal pacaran(?) ku dulu adalah titip pesan di Fikri dan sesering mungkin ke warung. Karena kalau aku keluar rumah, Anwar akan mengiringi di belakang. Dan kami akan bersama sama berjalan menuju warung. Sesimpel itu. Sampai suatu ketika di bulan Desember aku berulang tahun. Seminggu setelahnya ketika maghrib ada yang memanggil namaku diluar. Sempet takut juga magrib-magrib, kalau dibawa kealam lain kan takut juga. Aku membuka pintu dan keluar. Di depan pagar ada seorang ibu paruh baya yang segera kukenali bahwa itu adalah ibunya Anwar.

"Anu, oh, eh" Seketika gugup menyerangku. Beliau hanya senyum dan memberikan tas kertas kecil. "Ini dari Anwar, katanya selamat ulang tahun"
"M.mak..makasih..anu..a... mm..masuk dulu tante" gugup dan gagap bersatu dalam diriku saat itu.
"Langsung ko, mau ke warung dulu" sahut ibunya Anwar sambil berlalu. Aku gugup. Kubuka tas kertas kecil dan isinya boneka bayi pakai kostum kelinci. Berwarna putih. Dan sampai sekarang boneka itu masih ada jadi main-mainan anak aku.

"Siapa?" Nyokap menoleh ke arah aku yang dengan pelan menutup pintu rumah.
"A..anu.. tante wina ngasih boneka, katanya selamat ulang tahun"
"Tante wina?"
"A..Anwar...titipan Anwar"
"Kenapa Anwar ngasih hadiah?"
Pertanyaan nyokap simpel, tapi ga sesimpel cara aku harus menjawabnya.
"Gatau juga tuh kenapa hehehehehehehe"
Fix, ini aneh. Aku langsung buru-buru ke kamar. Bodo amat nyokap masih bingung atau engga.

Beberapa hari sejak kejadian itu. Aku lupa yang pasti aku menjadi renggang dengan Anwar.
Entah kami ditentang orang tua karena terlalu dini. atau karena terlalu dekat. Harusnya mereka mikir, kalo nikahan kan kita simpel. Cukup satu alamat sudah mencakup rumah kita berdua. Kita juga bakal  irit tranportasi.  Mau apel tinggal diatur jadwal nya minggu ini dirumah siapa, kita cukup nyebrang. Astaga, aku ini mikir apa.


Setelah hubungan tetangga-jadi-lebih itu, aku masih suka di ciye-ciye in sama keluarga Anwar yang lain. Ini tidak bisa dihindari karena kami bertetangga yang berseberangan menyerong dan melihat kehidupan satu sama lain (diliat dari teras luar masing-masing)


-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


dan Dia yang tadi bertatapan denganku adalah Anwar. Rupanya dia datang dari Kintap, mungkin  karena ingin mengantarkan si kakek ke peristirahatan terakhir.
Anwar saat ini sudah berkeluarga. Dan memiliki satu orang anak.
Begitu juga aku.
Kami sudah memiliki kehidupan masing-masing.
Tapi, sebelum lagunya booming, aku dan Anwar sudah pernah merasakan euphoria Pacar Lima Langkah versi kami yang tak jauh dari kata alay pada jamannya.




@K-090620

3 komentar: